TAK ADA
DENDAM UNTUKMU
Tubuh
mungil itu terus menarik baju ibunya yang akan pergi bekerja. Seakan ia tak mau
kehilangan ibunya, ia terus mencegahnya untuk pergi. Namun ada beberapa alasan
sehingga ia tak mau ditinggalkan oleh ibunya pergi dan tetap tinggal di rumah
bersama ayahnya. Jika tidak ada ibunya yang menemani di rumah, ia sangat
kesepian dan menderita bila bersama ayahnya. Akan tetapi ibu dari anak tersebut
harus pergi bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ayahnya?? Tentu saja
ayah dari anak itu adalah seorang pengangguran kelas atas. Dia selalu menyuruh
istrinya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Sedangkan anaknya yang masih
berumur 10 tahun harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dari menyapu,
mencuci, sampai memasak ia harus kerjakan, dan belum lagi pekerjaan rumah dari
sekolah. Sedangkan ia hanya menghambur-hamburkan uang dari jeri payah istrinya
untuk berjudi dan minum. Dia tak pernah memikirkan perasaan anak dan istrinya
sedikitpun. Sejak sebelum lahir Mei telah disiksa oleh ayahnya, pada waktu
masih di dalam kandungan perut ibunya sering dipukuli olehnya dengan alasan
sepele. Ibunya seorang buruh pabrik biskuit yang berada tak jauh dari
rumahnya.
Plaaaakkk
....... !!!!!
Tangan besar milik ayahnya berhasil
mendarat di pipi Mei dan meninggalkan bekas merah lebam, lantaran ia selalu
mencegah ibunya untuk bekerja.
“Pak !! Apa
yang kau lakukan pada anak kita?” bentak ibu Mei pada suaminya yang tidak
terima anak satu-satunya diperlakukan kasar oleh ayahnya sendiri.
“Sudah kau
diam saja !! Sekarang cepat kau pergi bekerja atau nanti bosmu marah dan kau
dipecat!!” Bantah ayah Mei.
Ibu Mei tak
punya pilihan lain selain tetap pergi bekerja,
ia harus mencari uang untuk kebutuhan Mei –anaknya. Namun, sebelum ia berangkat, ia
mencoba menenangkan Mei yang tengah menangis lantaran pipinya ditampar oleh
ayahnya hingga lebam.
“Mei, kamu
jangan menangis lagi ya nak. Ibu pergi tidak akan lama, lagi pula Mei sudah
besar tidak boleh cengeng.” Ujar ibu Mei menenangkan seraya mencium kening Mei.
Dan pada akhirnya hati Mei pun berhasil luluh dan membiarkan ibunya pergi untuk
bekerja.
Setelah ibu
Mei berangkat, tiba-tiba tangan Mei ditarik dengan keras oleh ayahnya menuju kamar
mandi. Mei pun terkejut sekaligus takut dengan perlakuan ayahnya. Di benaknya
terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang akan dilakukan oleh ayahnya.
Sesampainya di depan pintu kamar mandi, sontak Mei didorong menuju ke dalamnya
sehingga badannya terbentur dinding ruang tersebut.
“Ayah ...
Apa yang akan ayah lakukan?” Tanyanya dengan suara yang sedikit serak dan
disertai perasaan takut terhadap ayahnya. Ayah Mei tak menghiraukan pertanyaan
Mei. Ia meninggalkan Mei sejenak. Dan tak lama kemudian ia kembali dengan
membawa ember yang berisi air bekas cucian piring yang jelas baunya tak karuan.
Lalu tak tunggu lama lagi, ayahnya pun menyiramkan air tersebut pada anaknya.
Mei yang tengah disiram dengan air tersebut tak bisa berkata apa-apa, ia hanya
pasrah seraya memejamkan mata. Tidak hanya itu, ayahnya tak puas menyiksa Mei
dengan siraman air cucian piring, ia pun mengambil gayung yang berada di
sampingnya lalu ia memukul Mei dengan benda tersebut tepatnya di kepala Mei. Ia
melakuka tanpa henti seraya mencaci maki anaknya lantaran Mei selalu merengek
pada ibunya yang akan berangkat bekerja. Ayahnya memukul tak hanya di kepala
saja namun di bagian tubuh yang lain. Ia hanya bisa menjerit dengan memanggil
ibunya dalam hati. Menjerit, terus menjerit hanya itu yang bisa ia lakukan.
Ibu..!! Ibu...!! Tolong aku bu.. ibu kapan pulang? Mei
takut dengan ayah. Badan Mei sakit sekali bu.. Tolong Mei bu.. Kenapa ayah
jahat sekali padaku bu ? Kenapa? Ibu ...
Mei terus
menerus menjerit memanggil ibunya dalam benaknya sehingga ia tak dapat mengis
dan mengeluarkan air matanya lantaran saking kerasnya pukulan itu. Ia di situ
hanya pasrah sambil menunggu ayahnya puas dan lelah menyiksanya.
Lima belas
menit pun berlalu, masa hukuman Mei berakhir lantaran ayahnya sudah lelah
menghukum anaknya. Sebenarnya tak pantas disebut hukuman, ini lebih tepatnya
pada siksaan yang cukup sadis bagi anak seumur sedemikian. Usai melakukan hal
keji tersebut, kemudian ia masuk ke dalam kamar untuk tidur tanpa memperdulikan
anaknya yang tengah menderita di kamar mandi. Melihat ayahnya telah lelah dan
masuk ke dalam kamar, Mei pun langsung bergegas untuk membersihkan badannya
dari bau yang tak sedap lantaran terkena air cucian piring.
Setelah
selesai mandi, ia tak lupa untuk mencuci pakaiannya dan sekaligus pakaian orang
tuanya. Dengan tubuh tak berdaya, Mei tetap melakukan pekerjaan rumah jika
tidak ia harus berurusan dengan ayah yang sangat kejam tersebut.
Hari
menjelang sore. Ibu Mei tak kunjung datang, padahal ia berharap ibunya pulang
lebih awal hari ini. Ia ingin mengatakan semua yang terjadi pada hari ini.
Namun sekarang bukan waktunya untuk melamun dan mengharapkan kedatangan ibu. Ia
harus menyiapkan makan malam untuk ayahnya. Selagi ayahnya tengah tertidur
pulas, ia bergegas ke ruang dapur untuk memasak dan menyiapkan makan malam. Walaupun
ia masih kecil, masakannya cukup enak. Jadi, ia tak perlu kena amukan ayahnya
jika memakan masakannya.
Beberapa
menit kemudian Mei selesai memasak dan masakan tersebut dapat disajikan. Aroma
yang sungguh harum tercium di penjuru ruangan.
“Semoga
ayah tidak marah lagi dan mau makan masakanku.” Ucapannya yang terlontar dari
mulutnya seraya memandangi makanan yang tertata rapi di atas meja makan.
Ceklek!! ...
Terdengar suara pintu terbuka yang
berasal dari kamar ayahnya. Dan sosok yang keluar dari ruangan tersebut yang
pasti ayahnya. Ia membuka pintu dengan ekspresi mata yang masih mengantuk.
Dengan lantaran aroma harum dari masakan Mei, ia terbangun dan mengakibatkan
perutnya lapar seketikan.
“Mei.. kamu
masak apa?” Tanya ayahnya seraya menghampiri meja makan lalu duduk di salah
satu kursi di dekatnya.
“Umm ..
I-ini yah, Mei memasak kari ayam. Kebetulan di dapur tersisa bahan-bahan untuk
makan malam ini. Semoga ayah suka.” Jawab Mei sedikit ragu dan disertai rasa
takut. Tak menunggu lama lagi, Mei pun mengambilakan ayahnya piring dan
mengisinya dengan nasi putih yang masih hangat dan dilanjutkan dengan kari ayam
yang aromanya begitu menggoda.
“Silahkan
yah. kalau ayah mau lagi, nanti Mei ambilkan untuk ayah.” Ucap Mei
mempersilahkan. Dengan lahapnya ayah Mei memakan kari ayam tersebut sampai ia
minta untuk tambah sehingga kari dan nasi yang di atas meja tersisa sedikit.
Mei baru sadar, ia lupa untuk menyisihkan untuk ibunya.
“Maaf ayah.
Bisakah ayah menyisakan untuk ibu? Ibu pasti belum makan sepulang kerja nanti.”
“Ah! Kau
tak usah memperdulikan ibumu! Dia pasti telah makan di luar. Cepat berikan
makanan itu padaku!” Pintanya dengan memaksa dan disertai bentakan.
“Tidak
ayah! Ayah telah makan banyak hari ini. Kurasa ayah sudah cukup untuk
memakannya. Dan sekarang giliran ibu yang harus makan.” Bantahnya.
Pyaarrr.... !!!
Suara
piring telah menyentuh lantai lebih lepatnya piring tersebut dibanting lantaran
ayah mei mengeluarkan amarahnya. Ia sangat tidak suka bila ia diganggun saat
makan, apalagi Mei membantahnya. Seketika piring yang ada di atas meja itupun
dijatuhkan dan pada akhirnya pecah berkeping-keping. Mei yang melihat dan
mendengar suara itu sontak ia membelalak dan diam membisu. Mei tak berani
mengeluarkan sepatah kata pun setelah apa yang dilakukan oleh ayahnya.
Seketika
suasana menjadi hening. Ayah Mei menatap tajam pada Mei yang tengah mendongak
melihat tatapan tersebut dengan sayu. Tiba-tiba suasana hening itu pun pecah
setelah terdengar suara ketukan pintu pertanda rumahnya kedatangan tamu.
Sontak, Mei menghampiri pintu untuk membukanya. Dibukanya pintu tersebut,
terlihat sosok dua pria tinggi nan berwibawa dengan memakai seragam yang tak
asing bagi masyarakat. Orang tersebut ialah petugas kepolisian. Mei yang
melihat sosok pria tersebut kebingungan, apa yang dilakukan oleh polisi itu.
“Permisi
dek, apa benar ini rumahnya bapak Winanto?” tanya polisi tersebut.
“U-um ..
Iya benar beliau ayah saya, ada perlu apa ya pak ?”
“Kami dari
petugas kepolisian ingin bertemu dengan bapak Winanto.”
“Sebentar,
saya panggilkan dulu. Silahkan bapak masuk dulu.”
Setelah
mempersilahkan kedua polisi tersebut, Mei masuk ke dalam untuk memanggil
ayahnya. Di buka pintu kamarnya, ia tak mendapati tanda-tanda dari kehadiran
ayahnya. Ia pun mencari di penjuru ruangan namun tak ada. Dan akhirnya ia
menemui polisi yang berada di ruang tamu.
“Maaf
pak, ayah saya tidak sedang di rumah.” Ujar Mei.
“Apa
benar begitu? Apa adik tidak sedang berbohong?” Tanya salah satu polisi dengan
tak percaya dengan perkataan Mei.
“Iya
pak, saya bersungguh-bersungguh. Kalau saya boleh tahu, ayah saya ada masalah
apa sehingga bapak mencarinya?” Tanyanya penasaran.
“Sebenarnya,
ayah adik seorang buronan selama 2 tahun ini. Beliau terkena kasus pembunuhan
dan narkoba.” Jelasnya.
“A-apa!!!
Pembunuhan?!” Mei yang mendengar berita tersebut spontan ia terkejut dan tak
percaya apa yang telah dilakukan ayahnya selama ini, dan inilah alasan mengapa
ayahnya tak pernah keluar rumah.
Tiba-tiba
terdengar suara tembakan dari luar rumah. Polisi dan Mei pun terkejut apa yang
telah terjadi. Kemudia beberapa detik kemudian peugas kepolisian tersebut
mendapat informasi bahwa buronan yang mereka cari selama ini telah ditemukan
dan sedang dikejar. Setelah mendapat informasi tersebut, para petugas yang
berada dalam rumah Mei pun bergegas untuk pergi mengejar seorang yang mereka
cari selama ini. Perasaan Mei pun tidak enak dan hatinya juga gelisah teringat
ayahnya yang menjadi buronan. Karena ia merasa gelisah, Mei pun memutuskan
keluar rumah untuk mengejar ayahnya.
Mei
berlari sekencang mungkin dengan kaki kecilnya seraya air mata yang membasahi
wajah mungilnya. Hati Mei sesak karena kecewa dan tak tega ayahnya diincar oleh
para polisi. Mei tak peduli dengan perlakuan ayahnya selama ini karena walau
begitu ia tetap ayahnya.
Sesampainya
ia di tempat ayahnya, Mei melihat ayahnya yang sedang dikepung oleh beberapa
polisi dengan menodongkan senjata kepada seseorang yang ia panggil ayah. Takut,
kecewa, tidak tega, itu yang Mei rasakan saat ini setelah melihat seseorang
tersebut. Mei hanya terdiam membisu dan berdiri kaku tak dapat bergerak sedikit
pun.
“Tuhan ... apa yang harus Mei lakukan? ....
Mei takut .. Mei kecewa pada ayah .... Mei pun juga tidak tega ...
Ibu ... Ibu dimana ??
Bagaimana perasaan ibu setelah melihat ayah saat ini ? .. Ibu kapan pulang
?....” Katanya dalam hati dengan berharap ibunya berada disini.
Petugas
kepolisian memerintahkan ayah Mei untuk tidak bergerak seraya menodongkan
senjata yang disebut tembak. Beberapa saat kemudian, ayah Mei merasa para
polisi tersebut sedang lengah dan ayah Mei pun memutuskan untuk melarikan diri.
Namun gerakannya ketahuan oleh polisi tersebut dan pada akhirnya salah satu
senjata pun beraksi dan peluru dari tembak itu keluar dan tertuju pada ayah
Mei. Ayah Mei menghentikan gerakannya dan menutup wajahnya dan pada akhirnya ia
hanya pasrah. Beberapa detik setelah terdengar suara tembakan tersebut, ayah
Mei tidak merakan sakit dimanapun. Ia heran dan ia pun membuka mata. Alhasil
yang ia lihat adalah anak semata wayangnya yang bernama Mei, berbaring lemah
tak berdaya dengan darah yang mengalir deras di sekitar tubuhnya. Ternyata saat
peluru itu diluncurkan, Mei dengan sigap menghampiri tepat di depan posisi
ayahnya dan akhirnya pun ia tertembak tepat terkena pada di dadanya.
“MEIIIII
.... !!!!!!!” Teriakannya pada Mei, anaknya.
Ayah
Mei yang melihat anaknya terbaring lantaran terkena tembakan itu pun langsung
menghampiri dan memeluknya. Ia sangat menyesal apa yang selama ini ia perbuat
pada Mei.
“Mei
... mengapa kau sampai berbuat seperti ini pada ayah? Kau tak perlu
melakukannya demi ayahmu yang keji ini. Aku tidak pantas kau panggil dengan
sebutan ayah, aku tak pantas kau anggap ayah. Aku ini memang tidak berguna, dan
sangat kejam.” Ayah Mei sangat menyesal dan merasa bersalah.
Ia terus
menggenggam erat tangan putrinya seakan tak mau melepaskannya. Tiba-tiba tangan
Mei yang digenggam olehnya bergerak. Ia menatap putrinya dengan dalam. Perlahan
Mei membuka matanya dan melihat ayahnya yang berada tepat di depan wajahnya,
seakan Mei ingin menyampaikan sesuatu pada ayahnya. Namun Mei tak kuat lagi,
dadanya sakit bukan main, napasnya pun tak dapat terkendali. Perlahan ia
mengangkat tangan kanannya dan mulai menyentuh wajah ayahnya yang tengah
menagis dengan penyesalannya, dan kemudian ia tersenyum padanya seraya
meneteskan air mata. Mei tak dapat mengatakan apapun. Tak lama kemudian Mei
menjatuhkan tangannya dari wajah ayahnya dan disusul dengan menutup mata,
disitulah ia menghembuskan napas terakhirnya.
“Mei ..
maafkan ayah..” ucapnya lirih setelah Mei menutup mata untuk selamanya.
Petugas
polisi pun langsung menjemput ayah Mei untuk diamankan sedangkan jasad Mei
segera diurus oleh polisi yang lain. Ayah Mei yang tadinya berusaha untuk
melarikan diri dan tak ingin ditangkap, akhirnya ia kini pasrah dan rela
ditangkap oleh polisi setelah melihat perbuatan putrinya padanya.
Kemudian,
setelah ayah Mei telah masuk ke dalam mobi polisi, ibu Mei tak sengaja melewati
di tempat kejadian tersebut dan melihat segerombolan orang-orang yang sedang
menyaksikan kejadian tersebut. Ibu Mei pun langsung menyusup ke dalam kerumunan
tersebut dan alhasil ia terdiam kaku seperti petir yang menyambar dirinya
setelah melihat seorang anak kecil seumuran dengan putrinya diangkat oleh para
petugas kepolisian. Ia mencoba mendekati anak tersebut dan berharap ia bukan
anaknya. Berjalan perlahan dan akhirnya sampai padanya, dan apa yang ia lihat
adalah putri satu-satunya tengah menutup mata dengan badan yang dilumuri oleh
darah. Ia terkejut bukan main. Matanya membelalak setelah melihat keadaan
anaknya tersebut.
“Pak!! Apa
yang sebenarnya terjadi ? Mengapa anak saya jadi seperti ini ? Siapa pelakunya
?” Tanya bertubi-tubi terlontar dari mulutnya dengan nada yang meninggi.
“Begini bu,
tadi anak ibu melindungi ayahnya yang sedang ditembak oleh kami.” Jelas salah
satu polisi.
“Suami saya
ada masalah apa ? mengapa harus ditembak?”
“Sebaiknya
ibu ikut kami ke kantor untuk diberi kejelasan. Nant biar anak ibu akan kami
bawa ke rumah sakit.”
Pada
akhirnya ibu Mei ikut ke kantor polisi untuk diberi keterangan atas masalah
suaminya, dan anaknya yang bernama Mei harus dibawa ke rumah sakit. Di
perjalanan ibu Mei hanya duduk terdiam. Dipikirannya hanya ada putrinya, ia
merasa bersalah karena tidak menjaga Mei di rumah malah meninggalkan sendiri bersama
ayahnya yang kejam itu. Ia sangat kecewa pada suaminya.
Pagi
hari, Lesty –ibu Mei datang ke pengadilan untuk menghadiri sidang suaminya atas
kasus beberapa hari yang lalu. Ia memasuki ruangan pengadilan dengan ekspresi
suram. Dendamnya pada suaminya masih membara di hatinya. Suaminya telah
melakukan hal kejam padanya dan Mei selain itu suaminya telah membuat putrinya
meninggl dengan cara sedemikian.
Para
hakim pun telah menduduki posisinya. Kemudian petugas memanggil sang tersangka
yaitu Winanto –suami Lesty. Hakim telah membacakan UUD 1945 dan membacakan
semua kesalahannya sehingga telah diputuskan ia dihukum dengan kurungan selama
seumur hidup dengan kasus bebrapa tahun lalu yaitu pembunuhan dan narkoba
ditambah lagi kasus barunya yaitu kekerasan rumah tangga dan kekerasan pada
anak. Mendengar keputusan itu Lesty tersenyum puas namun di sisi lain, ia masih
sedih dengan kematian putrinya. Setelah usai menghadiri acara pengadilan
tersebut, ia bergegas ke makam Mei untuk berziarah.
“Mei..
Ibu harap kau tenang di alam sana. Ibu disini selalu mendo’akanmu sayang.”
Ucapnya untuk putrinya seraya mencium batu nisan milik Mei.
SELESAI~
0 komentar:
Posting Komentar